Dosen UIN Gus Dus, Presentasikan Riset ”Kampus Islam Inklusi” pada Gelaran the 14th AIUA

03 June 2024

Male, Maldives. “Kampus inklusi adalah protopite ideal universitas yang berkomitmen memanusiakan manusia. UIN K.H. Abdurrahman Wshid Pekalongan atau yang lebih dikenal dengan nama UIN Gus Dur Pekalongan mestinya berada dijalur ini.” Demikian disampaikan oleh Mumun dan Maghfur di Islamic University of Maldives. Pada acara The 14th Annual General Meeting of Asian Islamic Universities Association (AIUA) di kampus Islamic University of Maldives, Violet Magu Male Maldives pada tanggal 25 Mei 2024, Siti Mumun Muniroh dan Maghfur Ahmad mempresentasikan hasil penelitian mereka yang berjudul “Towards an Inclusive Islamic Campus: Policies, Curriculum, and Challenges.” Kajian ini mengeksplorasi berbagai kebijakan dan kurikulum yang telah diterapkan di kampus-kampus Islam untuk menciptakan lingkungan yang inklusif, serta tantangan yang dihadapi. Penelitian ini menawarkan pandangan berharga bagi top leader dan manajer kampus, pemimpin akademik, dan pembuat kebijakan yang ingin mendorong inklusivitas di institusi kampus Islam.

Penelitian ini dimulai dengan analisis kebijakan yang ada di beberapa Universitas Islam terkemuka. Mumun dan Maghfur menemukan bahwa ada beberapa kampus yang telah mengambil langkah signifikan menjadi kampus inklusi, seperti UIN Sunan Kalijaga Yogyajakarta. Namun, sebagaian besar belum menuju ke sana. Mereka telah mempromosikan inklusivitas melalui kebijakan yang mendukung pluralisme, kesetaraan, keadilan, dan kemanusiaan. Kebijakan ini hal-hal fundamental rencana pengembangan keilmuan, rentra, dan persoalan dukungan finansial dan teknis program ramah difabel.

Selain kebijakan, kurikulum juga memainkan peran kunci dalam mendorong inklusivitas di kampus-kampus Islam. Mumun dan Maghfur menyoroti pentingnya mengintegrasikan perspektif inklusif ke dalam aktivitas tri dharma perguruan tinggi, termasuk dalam proses pembelajaran. Mereka mengamati bahwa beberapa universitas telah mulai mengadopsi kurikulum yang mencakup studi tentang hak asasi manusia, keadilan sosial, dan pluralisme agama. Pendekatan ini tidak hanya memperkaya pengalaman belajar mahasiswa tetapi juga mempersiapkan mereka menghadapi kompleksitas ragam etnis dan agama. Namun, ada tantangan-tantangan pada aspek pembelajaran. Begitu juga dalam hal riset dan pengabdian kepada masyarakat. Isu-isu keragaman budaya, agama, etnis, masalah difabel dan berkebutuhan khusus masih terbatas.

Mumun dan Maghfur mengidentifikasi beberapa tantangan utama dalam menciptakan kampus Islam inklusi. Kebijakan, kurikulum, infrastrukur, kultur, dan pola pikir masih konservatif. Ada juga kelompok resistensi dari komunitas kampus. Perubahan kebijakan dan kurikulum sering kali dipandang sebagai ancaman. Selain itu, keterbatasan sumber daya manusia, finansial, dan terbatasnya program inklusi, menjadi penghambat implementasi program kampus inklusi. Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan upaya kolaboratif antar sivitas akademika. Kolaborasi pimpinan universitas, dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa menjadi penting untuk menciptakan budaya kampus inklusif, lebih terbuka, dan menerima perbedaan.

Di samping itu, kajian ini mengungkap pentinya dukungan pimpinan kampus dalam mendorong perubahan. Mumun dan Maghfur mengingatkan kembali tanpa komitmen yang kuat dari pimpinan, upaya untuk meningkatkan inklusivitas di kampus hanya akan menjadi retorika tanpa realisasi. Mereka merekomendasikan agar universitas mengadopsi pendekatan partisipatif dalam merumuskan kebijakan dan kurikulum, dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam proses pengambilan keputusan. Ini akan memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan benar-benar mencerminkan kebutuhan dan aspirasi warga kampus.

Mumun dan Maghfur menggarisbawahi bahwa menciptakan kampus yang inklusif bukanlah tugas yang mudah, tetapi sangat penting untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang adil dan merata bagi semua mahasiswa. Keduanya berharap bahwa hasil penelitian ini dapat menjadi panduan bagi universitas Islam di seluruh dunia dalam upaya mereka untuk mengembangkan kebijakan dan kurikulum yang lebih inklusif. Dengan demikian, kampus-kampus Islam dapat memainkan peran penting dalam mempromosikan keadilan sosial, menjamin hak-hak dasar, memanusiakan manusia, dan membantu mewujudkan perdamaian di tengah dunia yang sedang konflik.

Mengkomperasi dua kampus Islam, presenter mengungkap bahwa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan memiliki komitmen terhadap kampus Inklusi sebagai respons atas keragaman, mandat konstitusi, pemenuhan hak-hak asasi, serta nilai-nilai kemanusiaan. ”Kedua kampus menunjukkan komitmen terhadap inklusivitas, terdapat perbedaan dalam implementasi kebijakan dan kurikulum inklusif. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta memiliki kebijakan yang lebih mapan, sementara UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan masih dalam tahap pengembangan,” punkas Mumun. 

Penelitian Mumun dan Maghfur memberikan kontribusi yang signifikan dalam diskusi tentang inklusivitas di universitas Islam. Melalui kajian yang kritis, dosen ini tidak hanya mengidentifikasi tantangan, tetapi juga menawarkan solusi. Presentasi mereka di Annual General Meeting Asosiasi Universitas Islam se-Asia ini diharapkan dapat menginspirasi perubahan positif, memperkuat komitmen, mempercepat dan menciptakan kampus yang lebih inklusif, terbuka terbuka terhadap ragam nilai, budaya, agama, serta ramah difabel di berbagai kampus.


Kontributor : Miftahul Huda

Editor.          : Baryachi

 

 

 

                 
UIN K.H. Abdurrahman Wahid
Kampus 1: Jl. Kusuma Bangsa No.9 Kota Pekalongan 51141
Kampus 2: Jl. Pahlawan Km.5 Rowolaku Kajen Kab. Pekalongan 51161
Telp: +62 (285) 412575
Fax : +62 (285) 423418
Top
We use cookies to improve our website. By continuing to use this website, you are giving consent to cookies being used. More details…