Ya, Gus Dur tidak meninggalkan warisan dalam bentuk fisik (uang triliunan, tanah berhektare-hektare), bahkan dompet saja beliau tidak punya. Tahun 2009, dalam tulisan Alissa Wahid (Bapakku Bukan Perekayasa Konflik: 2014), Gus Dur sempat meminjam uang lima juta kepada Alissa, hingga Alissa menelepon Yenny dan meneteskan air mata. Sekelas Presiden ke-4, lho! Uang lima juta saja tidak punya.
Padahal, Gus Dur bisa saja memilih untuk memanfaatkan jabatannya pada waktu itu sebagai RI 1, misalnya berkongkalikong dengan politikus untuk mengekalkan posisinya sampai rampung. Bila perlu nyalon lagi (hingga 2 periode) kalau belum puas. Beliau tentu boleh memilih untuk deal-dealan dengan para investor, pengusaha, atau makelar proyek untuk mendapatkan aset-aset yang mengayakan diri dan keluarganya. Namun, Gus Dur tidak untuk itu. Beliau lebih memilih untuk berpegang pada prinsip; nilai, keyakinan, dan hati nurani. Jalan lain yang tidak banyak dipilih oleh pemimpin kebanyakan saat ini.
Internalisasi Nilai dan Keteladanan Gus Dur
Mengingat IAIN Pekalongan yang saat ini akan beralih status menjadi UIN Abdurrahman Wahid (baca: Universitas Gus Dur), penulis membayangkan ihwal bangunan keilmuan dan pondasi pemikiran yang dirancang tentu mewarisi dari apa yang selama ini almarhum teladankan; nilai dan garis perjuangan. Karena berubah status tidak hanya sekadar nama.
Jaringan GUSDURian dikenal dengan sembilan (9) nilai utama Gus Dur. Sembilan (9) nilai ini menjadi pedoman (guidance) para penggerak komunitas GUSDURian. Terhadap situasi apapun, bergerak dengan cara bagaimanapun, dan menyikapi isu apapun, prinsipnya ada pada sembilan (9) nilai ini. Sembilan (9) nilai utama Gus Dur inilah yang menjadi bangunan atau fondasi yang harus dimiliki para penggerak komunitas.
(Nilai-nilai utama Gus Dur) di antaranya: Ketauhidan, Kemanusiaan, Keadilan, Kesetetaraan, Pembebasan, Persaudaraan, Kesederhanaan, Kekesatriaan, dan Kearifan lokal/tradisi (GUSDURian.net/26-01-22). Bayangan saya, UIN KH Abdurrahman Wahid dalam bergerak, bangunan/fondasi keilmuannya (baik oleh para staff maupun/dan mahasiswanya) berprinsip pada sembilan (9) nilai tadi/tersebut.
Sembilan (9) nilai di atas telah dirumuskan oleh para sahabat dan murid dari Gus Dur dalam simposium “Kristalisasi Prinsip Pemikiran Gus Dur”. Ada Gus Mus (KH. A. Mustofa Bisri), Mahfud MD, Djohan Effendi, Muslim Abdurrahman, Greg Barton, Romo Benny, Franz Magnis Suseno, Imam Aziz, dan lain-lain.
Dalam tradisi pesantren, dikenal dengan istilah sanad. Jadi, secara keilmuan para perumus di atas adalah orang-orang yang mempunyai sanad keilmuan yang qualified atau berkualitas. Jika dilihat dari jalur periwayatan dalam istilah hadis, mereka pernah bersinggungan langsung dengan almarhum. Tidak hanya membaca buku tentang Gus Dur, tetapi juga mengalami dan berjumpa secara fisik dengannya. Oleh sebab itu, harapan saya UIN KH Abdurrahman Wahid menjadi kampus yang menginternalisasi nilai-nilai yang selama ini diperjuangkan olehnya.
Sependek yang saya tahu, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta memiliki jargon integrasi-interkoneksi. Dalam segala bidang keilmuan—apapun itu—dihubungkan dengan cabang keilmuan lain yang dalam gagasan Amin Abdullah (2007), epistemologi UIN Suka seperti jejaring laba-laba. Sumber keilmuan dari al-Qur’an dan hadis, tetapi pendekatan dan metode yang digunakan bisa dengan berbagai macam cabang keilmuan seperti ilmu kalam, filsafat, tasawuf, tafsir, dan lain-lain. Antara hadarah nash, falsafah, dan al-ilm, terhubung-terkait.
Tidak heran jika UIN Suka dikenal maju dalam humanisasi ilmu keislamannya. Sementara UIN Walisongo Semarang mempunyai jargon Unity of Sciences (Wahdal al-Ulum), yang ditopang dengan lima prinsip: integrasi, kolaborasi, dialektika, prospektif, dan pluralistik. Dus, semua bangunan/fondasi tersebut tentunya akan berpengaruh dalam sisi kinerja, riset, dan transfer keilmuan dari masing-masing pengajar.
Nah, dalam pandangan penulis, UGD dapat menjadi pusat laboratorium yang menerjemahkan gagasan dan pemikiran Gus Dur di segala bidang; agama, politik, ekonomi, dan sosial budaya. Bayangan saya, output dari mahasiswa lulusan UDG selain mempunyai cara pandang yang kosmopolit, juga mampu menginternalisasi nilai-nilai dan pemikiran dari KH. Abdurrahman Wahid. Bekerja di mana pun, ia selalu berprinsip seperti apa yang diajarkan oleh Gus Dur.
Kita semua tahu, dunia pendidikan kita saat ini diterpa dengan sederet kasus seperti pelecehan seksual, korupsi, dan nirkemanusiaan. Tiga perilaku yang sejatinya tidak ada di dalam kamus seorang pengajar atau orang yang berilmu. Bagaimana bisa, seorang dosen melakukan tindakan yang tidak sepatutnya kepada mahasiswinya. Bagaimana mungkin seorang pejabat di tengah pandemi melakukan korupsi miliaran rupiah dana bansos. Bagaimana mungkin seorang Bupati melakukan perbudakan modern. Bukankah moralitas menjadi perhatian penting dalam dunia pendidikan saat ini dan kedepannya?
Nah, dari fenomena di atas, seluruh civitas academica kembali diingatkan tentang pentingnya penanaman nilai utama (core value) dan akhlak (moralitas/keteladanan). Salah satu contoh yakni tentang nilai ketauhidan. Ketauhidan yang diajarkan dan dipahami oleh Gus Dur adalah ketauhidan—walaupun sama-sama ber-Laa ilaaha illallah—berbeda dengan ketauhidan yang dipahami kalangan ekstrimis ISIS, misalnya. Ketauhidan Gus Dur itu tidak melukai atau merugikan orang lain. Justru, ketauhidan Gus Dur adalah memanusiakan sesama, menghargai dan mengayomi.
Kalau digambarkan, gelombang pergerakan (nilai dan perjuangan) Gus Dur itu bagaikan riak air. Alissa Wahid dalam Kelas Pemikiran Gus Dur pernah mengilustrasikan disaat kita sedang melempar kerikil di tengah sungai, lalu yang muncul adalah gelombang—dari riak kecil ke riak yang besar. Nah, gelombang pergerakan Gus Dur yang pertama (baca: utama) adalah basisnya ada pada spirituality (tauhid/teologi), lalu dari ketauhidan bergerak pada kultur (NU, pesantren, dan keindonesiaan), lalu bergerak sebagai seorang negarawan (Presiden), dan dari semua itu, kerja-kerja yang dilakukan oleh Gus Dur selalu bermuara pada kemanusiaan. Wajar jika garis perjuangan Gus Dur selama hidupnya, bila ditrack (pembelaannya terhadap apapun), selalu muaranya ada pada kemanusiaan.
Mustofa Bisri (Gus Mus), saat haul Gus Dur di Ciganjur tahun 2010 pernah menyatakan “mengapa makam Gus Dur saat ini dipenuhi oleh lautan manusia?, karena Gus Dur mencintai manusia dan memanusiakan manusia”. Bahkan dalam wasiatnya beliau berpesan supaya di atas makamnya ditulis “Di sini Berbaring Seorang Pejuang Kemanusiaan”. Harapannya itu kini terwujud.
Kampus Inklusif
Gus Dur memiliki sejarah panjang dalam proses pendidikannya. Dari pesantren, lalu melalang buana ke Timur Tengah dan Eropa. Beliau merasakan perjumpaan terhadap segala keilmuan dan keanekaragaman budaya. Local wisdom-nya yang kuat, tetapi tidak membatasi dirinya dengan menerima segala jenis pemikiran, golongan, ilmu, budaya yang beranekaragam—itulah bayangan saya terhadap para mahasiswa UGD. Menjaga integritas, bersikap egaliter terhadap siapapun, berwawasan terbuka, namun tetap berpijak pada tradisi dan jati diri bangsa.
Bayangan saya, kampus UGD juga terbuka kepada siapapun, tidak hanya diisi oleh mahasiswa muslim an sich, tetapi juga diwarnai dan terbuka kepada seluruh golongan, agama, dan lintas gender. Tidak hanya mahasiswanya, tetapi juga staf-stafnya. Menjadi kampus terbuka (open mind, will, heart) dan bisa menjadi pangkalan buat siapapun, menjadi tempat yang nyaman bagi semua golongan.
Oleh sebab itu, basis keilmuan atau jargon UGD adalah kampus inklusif, humanis, dan kosmopolit. Kerja-kerja yang dilakukannya seperti menanam benih/chip dari keteladanan Gus Dur, dan goal-nya adalah mampu mencetak generasi yang manfaat-maslahat. Berpijak pada Iman (tauhid), Islam (syari’at), dan Ihsan (akhlak/tasawuf), ketiganya ini dihubungkan dengan berbagai cara pandang dari Gus Dur. Kalau Gus Yahya punya jargon “Menghidupkan Gus Dur”, sementara UGD punya jargon “Mengekalkan Nilai-nilai Gus Dur”.
Kerja-kerja yang dilakukan oleh Gus Dur yang bisa kita nikmati hari ini tidaklah sebentar, tetapi butuh kesabaran dan keberanian yang kuat. Capaian itu tidak hanya dinikmati hanya lima tahun sekali (jangka pendek), tetapi untuk generasi selanjutnya. Bahkan sampai sekarang dan nanti. Mewujudkan generasi emas untuk masa depan negeri dengan meng-copy paste keteladanan Gus Dur adalah pilihan yang tepat. Saya membayangkan Gus Dur tersenyum bahagia di alam sana, karena warisan perjuangannya kembali dilanjutkan generasi setelahnya. Gus Dur sudah meneladani, saatnya kampus UIN Abdurrahman Wahid melanjutkan.